5.02.2013

MENGINTIP PENDIDIKAN SD DI JEPANG

Udah lama nih gk nongkrong di sini. Ane punya berita gan, mungkin diantara kalian udah tau. semoga dengan membaca ini bagi yang udah tau menjadi lebih menghayati. Dan bagi yang belum tau, nih ane kasih beritanya.....



Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi "by default", namun pastilah "by design". Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya "Moral". Moral menjadi fondasi yang ditanamkan "secara sengaja" pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.



Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.

Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata "Budaya" dari Departemen "Pendidikan dan Kebudayaan" sehingga "hanya" menjadi Departemen "Pendidikan Nasional" di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan "Budaya", yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu "penting" lainnya.

Semoga pemerintah dapat menirunya. Supaya gk ada lagi yang namanya Alay,Tawuran,Geng,Diskriminasi, dll



sumber | iniunic.blogspot.com | http://forum.viva.co.id/sosial-dan-budaya/689960-ngintip-pendidikan-sd-di-jepang.html

5.01.2013

BAB II


 
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A.    Kajian Pustaka
1.      Hakikat Puisi
a.      Pengertian Puisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi berarti ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Dalam bahasa Inggris puisi disebut poetry yang berarti puisi, poet berarti penyair, poem berarti syair, sajak.
Sedangkan puisi menurut Kinayati Djojosuroto (2006: 9) adalah suatu sistem penulisan yang margin kanan dan penggantian barisnya ditentukan secara internal oleh suatu mekanisme yang terdapat dalam baris itu sendiri.
15
 
Beberapa pendapat sastrawan dunia tentang puisi (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 9) antara lain oleh William Wordsworth yang menyebutkan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, dia memperoleh rasanya dari emosi, atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian. Byron menjelaskan Puisi adalah lava imajinasi yang letusannya mencegah timbulnya gempa bumi. Percy Bysche Shelly, puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan. Emily Dickenson juga mengemukakan kalau aku membaca sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk sehingga tiada api yang dapat memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi. Hanya dengan cara inilah aku mengenal puisi. Watts Dunton menjelaskan puisi adalah ekspresi yang konkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia secara emosional dan berirama. Sedangkan Lascelles Abercramble berpendapat bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa, yang mempergunakan setiap rencana yang matang dan bermanfaat.
Dari pendapat para sastrawan diatas dapat kita simpulkan bahwa puisi itu sebuah karya imajinatif yang menjadi ungkapan hati/pikiran penulisnya dan bersifat artistik.
b.      Struktur Puisi
Richards (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 15) menyebutkan bahwa puisi terdiri atas dua bagian besar yakni struktur fisik dan struktur batin puisi.
1)      Struktur Fisik
(a)    Diksi
Menurut Boulton (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 16) diksi merupakan esensi penulisan puisi. Ada pula yang menyebut diksi sebagai dasar bangunan puisi. Kata-kata yang dipilih penyair sesuai dengan perassaan dan nada puisi.
(b)   Gaya Bahasa
Tujuan menciptakan gaya bahasa dalam puisi, antara lain (1) agar menghasilkan kesenangan yang bersifat imajinatif, (2)agar menghasilkan makna tambahan, (3) agar dapat menambah intensitas dan menambah konkrit sikap dan perasaan penyair dan (4) agar makna yang diungkapkan lebih padat (Perine (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 17)).
Macam –macam gaya bahasa antara lain : (1) Metafora, (2) Simile, (3) Personifikasi, (4) Metonimia, (5) Sinekdoks dan (6) Pencitraan.
(c)    Bunyi
Peranan bunyi sangat penting ketika puisi dibaca. Menurut Boulton (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 22) pembahasan bunyi di dalam puisi menyangkut masalah rima, ritma dan metrum. Rima berarti persamaan atau pengulangan bunyi, sedangkan ritma berarti pertentangan bunyi yang berulang secara teratur yang membentuk gelombang antar baris puisi. Metrum adalah variasi tekanan kata atau suku kata.
2)      Struktur Batin
(a)    Tema
Tema adalah gagasan pokok atau subject-master yang dikemukakan oleh penyair (Herman J. Waluyo, 2008: 124).
Tema puisi biasanya mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedudukan, kesengsaraan hidup, keadilan dan kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan protes (Kinayati Djojosuroto, 2006: 24).
(b)   Nada
Nada sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca (Herman J. Waluyo, 2008: 144).
(c)    Perasaan
Tarigan (dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 26) mengemukakan bahwa dalam puisi diungkapkan perasaan penyair. Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih, terharu, takut, gelisah, rindu, penasaran, benci, cinta, dendam dan sebagainya. Perasaan yang diungkapkan penyair bersifat total, artinya tidak bersifat setengah-setengah.
(d)   Amanat
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. ... amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan (Herman J. Waluyo, 2008: 151).
c.       Jenis-jenis Puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama, puisi baru, dan puisi kontemporer (Wikipedia). Uraiannya adalah sebagai berikut:
1)      Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturan- aturan itu antara lain ; jumlah kata dalam satu baris, umlah baris dalam satu bait, persajakan (rima), banyak suku kata tiap baris, dan irama. Ciri-ciri puisi lama antara lain ; (a) Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya, (b) Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan, (c) Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima. Jenis- jenis puisi lama antara lain: (a) mantra, (b) Pantun, (d) karmina, (e) seloka, (f) gurindam, (g) syair, dan (h) talibun.
2)      Puisi Baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Ciri-ciri Puisi Baru: (a) Bentuknya rapi, simetris, (b) Mempunyai persajakan akhir (yang teratur), (c) Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain, (d) Sebagian besar puisi empat seuntai, (e) Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis) dan (f) Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata. Jenis-jenis Puisi Baru Menurut isinya dibedakan atas: (a) Ode, (b) epigram, (c) elegi, (d) satire, dan (e) sonata.
3)      Puisi Kontemporer
Kata kontemporer secara umum bermakna masa kini sesuai dengan perkembangan zaman atau selalu menyesuaikan dengan perkembangan keadaan zaman. Selain itu, puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang lahir dalam kurun waktu terakhir. Puisi kontemporer berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi kontemporer seringkali memakai kata-kata yang kurang memperhatikan santun bahasa, memakai kata-kata makin kasar, ejekan, dan lain-lain. Pemakaian kata-kata simbolik atau lambing intuisi, gaya bahasa, irama, dan sebagainya dianggapnya tidak begitu penting lagi. Puisi kontemporer dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : (a) puisi mantra, (b) puisi mbeling, dan (c) puisi konkret.
Penyusunan puisi kontemporer sebagai puisi inkonvensional ternyata juga perlu memerhatikan beberapa unsur sebagai berikut: (a) Unsur bunyi; meliputi penempatan persamaan bunyi (rima) pada tempat-tempat tertentu untuk menghidupkan kesan dipadu dengan repetisi atau pengulangan-pengulangannya, (b) Tipografi; meliputi penyusunan baris-baris puisi berisi kata atau suku kata yang disusun sesuai dengan gambar (pola) tertentu, (c) Enjambemen; meliputi pemenggalan atau perpindahan baris puisi untuk menuju baris berikutnya, (d) Kelakar (parodi); meliputi penambahan unsur hiburan ringan sebagai pelengkap penyajian puisi yang pekat dan penuh perenungan (kontemplatif).
2.      Kemampuan Menulis Puisi di SD Kelas Tinggi
a.      Hakikat Menulis
1)      Pengertian Menulis
Menulis bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Buku, koran, majalah, komik, cerita, artikel, karya tulis adalah contoh bentuk bahasa tulis yang sering kita jumpai.
Berikut ini adalah pandangan dari beberapa ahli tentang definisi menulis. Puji Santosa et al (2011: 6.14) mengemukakan bahwa menulis merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk menghasilkan sebuah tulisan. St. Y. Slamet (2008: 97), menulis merupakan serangkaian aktivitas (kegiatan) yang terjadi dan melibatkan beberapa fase (tahap) yaitu fase pramenulis (persiapan), penulisan (pengembangan isi karangan), dan pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan). Henry Guntur Tarigan (2008: 3), menulis merupakan suatu ketrampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Yeti Mulyati, dkk. (2005: 2.33), menulis pada hakikatnya menyampaikan ide atau gagasan dan pesan dengan menggunakan lambang grafis (tulisan). Sedangakan H. G. Tarigan (dalam St. Y. Slamet, 2008: 99) berpendapat bahwa menulis pada hakikatnya ialah melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang untuk dibaca orang lain yang dapat memahami bahasa dan lambang-lambang grafis tersebut.
Dari definisi-definisi di atas dapat diketahui bahwa menulis adalah kegiatan berkomunikasi secara tidak langsung (bertatap muka). Menulis dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang (bahasa tulis) tertentu. Menulis merupakan kegiatan penyampaian gagasan atau pikiran dari penulis kepada pembaca agar pembaca dapat memahaminya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah rangkaian kegiatan berkomunikasi secara tidak langsung dengan menggunakan lambang-lambang tertentu untuk menyampaikan gagasan dari penulis agar pembaca dapat memahaminya.
2)      Unsur-unsur Menulis
Menurut The Lian Gie (dalam St. Y. Slamet, 2008: 108) terdapat empat unsur dalam proses menulis, yaitu:
1)         Gagasan
Dalam hal ini, gagasan adalah topik atau tema yang akan dikemukakan oleh penulis.
2)         Tuturan
Tuturan adalah bentuk pengungkapan gagasan sehingga gagasan itu dapat dipahami oleh pembaca. Pengungkapan gagasan dapat dibedakan kedalam empat bentuk, yakni sebagai berikut:
(a)    Pemaparan, yaitu bentuk pengungkapan yang menyajikan penjelasan tentang suatu subjek secara sistematis, analitis, dan logis sehingga pembaca memahaminya dan bertambah pengetahuannya.
(b)   Pemerhatian,  yaitu bentuk pengungkapan yang menggambarkan suatu objek dengan berbagai hasil pengamatan penulis yang diperolehnya melalui alat-alat inderanya. Objek yang dimaksud adalah benda-benda seperti orang, tempat, pemandangan, lagu merdu, bunga, sejenis hewan, tumbuhan, suasana, dan sebagainya.
(c)    Penceritaan, yaitu bentuk pengungkapan yang menyampaikan peristiwa-peristiwa yang dijalin sedemikian rupa menurut urutan waktu atau tempat kepada pembaca dengan maksud meninggalkan kesan tentang perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi mulai dari awal hingga akhir cerita.
(d)   Pembahasan, yaitu bentuk pengungkapan yang membahas atau membicarakan sesuatu dengan menggunakan fakta-fakta atau argumen-argumen sehingga pembaca meyakininya dan mengubah pikiran, pendapat, atau sikapnya sesuai dengan yang diharapkan penulis.
3)         Tuntunan
Merupakan tata tertib atau pengaturan dan penyusunan gagasan yang biasanya dijadikan pedoman oleh penulis.
4)         Wacana
Merupakan sarana pengatur berupa bahasa tulis yang meliputi kosakata, tata bahasa, ejaan, dan tanda baca.
3)      Tujuan Menulis
Secara umum dapat dinyatakan bahwa menulis bertujuan untuk mengungkapkan dan menyampaikan gagasan secara jelas dan efektif kepada pembaca. Dalam hal ini, penulis mempunyai suatu topik yang hendak dibicarakannya.
Henry Guntur Tarigan (2008: 24-25) mengemukakan tujuan menulis sebagai berikut: (1) Tulisan yang bertujuan untuk memberitahukan atau mengajar disebut wacana informatif (informative discourse), (2) Tulisan yang bertujuan untuk meyakinkan atau mendesak disebut wacana persuasif (persuasive discourse), (3) Tulisan yang bertujuan untuk menghibur atau menyenangkan atau yang mengandung tujuan estetik disebut tulisan literer (wacana kesastraan atau literary discourse), (4) Tulisan yang mengekspresikan perasaan dan emosi yang kuat atau berapi-api disebut wacana ekspresif (expressive discourse).
b.      Tahapan Menulis Puisi
Puisi sebagai karya seni itu puitis. Karya sastra itu disebut puitis bila karya tersebut dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis Rachmat Djoko Pradopo (1990: 13). Untuk mendapatkan kesan puitis inilah dalam menciptakan sebuah puisi diperlukan tahapan-tahapan.
Sri Murni dan Ambar Widianingtyas (2008: 106) menjelaskan langkah-langkah dalam menulis puisi sebagai berikut: (1) Menentukan gagasan utama atau ide, misalnya gagasan utama adalah sebuah suasana sawah di pagi hari. Pilihlah kata-kata di seputar kata suasana, sawah, dan pagi hari. Selanjutnya rangkailah kata-kata tersebut menjadi sebuah puisi, (2) Mengembangkan gagasan utama menjadi puisi bebas, berdasarkan gagasan utama serta pilihan kata, selanjutnya kembangkan menjadi sebuah puisi. Misalnya sebagai berikut:

PERMAINYA DESAKU
Sawah mulai menguning
Mentari menyambut datangnya pagi
Ayam berkokok bersahutan
Petani bersiap hendak ke sawah.

Padi yang hijau
Siap untuk dipanen
Petani bersuka ria
Beramai – ramai memotong padi

Gemercik air sungai
Begitu beningnya
Bagaikan zamrud khatulistiwa
Itulah alam desaku yang permai
c.       Penilaian Kemampuan Menulis Puisi
St. Y. Slamet (2007: 209) menjelaskan bahwa ragam bentuk tes subjektif yang digunakan untuk tes menulis sebagai berikut: (1) tes menulis berdasarkan rangsangan visual, (2) tes menulis berdasarkan rangsangan suara, (3) tes menulis dengan rangsangan buku, (4) tes menulis laporan, (5) tes menulis berdasarkan tema tertentu, dan (6) tes menulis surat.
Kegiatan menulis puisi sendiri dinilai menggunakan bentuk tes subjektif, dapat dilakukan secara holistik atau per aspek. Penilaian secara holistik yaitu penilaian yang dilakukan secara utuh tanpa melihat atau memilah bagian-bagiannya. Sedangkan penilaian per aspek dilakukan dengan cara menilai bagian-bagian puisinya, misalnya: pemilihan judul, struktur bahasanya, pemilihan diksi, penggunaan ejaan, keterpaduan isi dengan judul. Hasil akhir penilaian merupakan gabungan dari hasil penilaian per aspek.
No.
Aspek yang Dinilai
Skor Maksimal
1.
2.
3.
4.
5.
Keterpaduan isi dengan judul
Struktur bahasa
Pemilihan diksi
Penggunaan ejaan
Pemilihan judul
30
25
20
15
10
Jumlah
100

3.      Media Pembelajaran
a.      Hakikat Media Pembelajaran
1)      Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ”tengah”, ”perantara” atau ”pengantar”. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (wasail) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Azhar Arsyad, 2002: 3). Media juga dapat diartikan sebagai perantara atau penghubung antara dua pihak, yaitu antara sumber pesan dengan penerima pesan atau informasi. Oleh karena itu, media pembelajaran berarti sesuatu yang mengantarkan pesan pembelajaran antara pemberi pesan kepada penerima pesan (Sri Anitah, 2008: 1).
Menurut Gerlach & Ely (dalam Azhar Arsyad, 2002: 3) media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yangm membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan, atau sikap. Sedangkan Gagne (dalam R. Angkowo dan A. Kosasih, 2007: 10) mengartikan media sebagai berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.
Dari berbagai definisi yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu baik orang, bahan, alat, peristiwa, atau lingkungan yang mampu menciptakan kondisi dimana pebelajar mampu menerima pengetahuan, ketrampilan, dan sikap. Media pembelajaran didalamnya mengandung berbagai informasi yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain.


2)      Fungsi Media Pembelajaran
Azhar Arsyad (2002: 15) mengemukakan bahwa salah satu fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru.
Pada awalnya media media hanya berfungsi sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar yakni berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa dalam rangka mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang kompleks dan abstrak menjadi lebih sederhana, konkrit serta mudah dipahami. Dengan demikian media dapat berfungsi media dapat berfungsi untuk mempertinggi daya serap dan retensi anak terhadap materi pembelajaran (Asnawir dan Basyiruddin Usman, 2002: 21).
Levie & Lentz (dalam Azhar Arsyad, 2002: 16) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu (a) fungsi atensi, (b) fungsi afektif, (c) fungsi kognitif, dan (d) fungsi kompensatoris.
3)      Manfaat Media Pembelajaran
Secara umum Arief S. Sadiman, R. Rahardjo, Anung Haryono, Rahardjito (2011: 17) menjelaskan bahwa media pendidikan mempunyai manfaat sebagai berikut: (a) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis, (b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, (c) penggunaan media secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dan (d) memberikan rangsangan serta pengalaman pada siswa.
Menurut Kemp dan Dayton dalam Sukiman (2012: 42) mengemukakan bahwa banyak keuntungan penggunaan media pembelajaran. Manfaat dari penggunaan media sebagai bagian dari pengajaran di kelas adalah sebagai berikut:
(a) penyampaian pelajaran menjadi lebih baku. Setiap pelajar yang melihat atau mendengar penyajian melalui media menerima pesan yang sama, (b)pengajaran bisa lebih menarik. Media dapat diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa tetap terjaga dan memperhatikan, (c) pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik, dan penguatan, (d) lama waktu pengajaran yang diperlukan dapat dipersingkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa. (e) kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan, (f) pengajaran dapat diberikan kapan dan dimana diinginkan, (g) sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat ditingkatkan dan (h) peran guru dapat berubah kearah yang lebih positif, dalam proses belajar mengajar.

4)      Jenis-Jenis Media Pembelajaran
a)      Media Visual
Media visual disebut juga media grafis, seperti halnya fungsi media secara umum, media grafis juga berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Penggunaan media ini sangat berkaitan erat dengan indera penglihatan karena biasanya berupa gambar yang dapat diamati dengan cara dilihat.
Selain sederhana dan mudah pembuatannya, media grafis termasuk media yang relatif murah ditinjau dari segi biayanya. Arief S. Sadiman, R. Rahardjo, Anung Haryono, Rahardjito (2011: 2) mengemukakan bahwa secara khusus media grafis berfungsi untuk menarik perhatian, memperjelas ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan.
Menurut Yudhi Munadi (2008: 56) media visual adalah media yang hanya melibatkan indera penglihatan. Termasuk dalam media ini adalah media cetak-verbal, media cetak-grafis, dan media visul non-cetak.
Sri Anitah (2008: 7) menjelaskan bahwa media visual disebut juga media pandang, karena seseorang dapat menghayati media tersebut melalui penglihatannya. Media visual ini dibedakan menjadi dua bagian yakni media visual yang diproyeksikan dan media visual yang tidak diproyeksikan.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa media visual adalah media yang dapat diamati melalui indera penglihatan yang bermanfaat untuk mempertajam daya ingat siswa tentang materi yang disampaikan. R. Angkowo dan A. Kosasih (2007: 13) menyebutkan media grafis ini meliputi: gambar/foto, sketsa, diagram, bagan, grafik, kartun, poster, peta/globe, papan panel, dan papan buletin.
b)     Media Audio
Audio berasal dari kata audible, yang artinya suara yang dapat didengarkan secara wajar oleh manusia. Kemampuan mendengar telinga manusia berada pada daerah frekuensi antara 20 sampai dengan 20.000 Hertz. Diluar itu, manusia tidak mampu lagi mendengarkannya (Daryanto, 2010: 37).
Media audio adalah media yang hanya melibatkan indera pendengaran dan hanya mampu memanipulasi kemampuan suara semata (Yudhi Munadi, 2008: 55).
R. Angkowo dan A. Kosasih ( 2007: 13) menjelaskan bahwa media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang akan disampaikan dituangkan kedalam lambang-lambang auditif, baik verbal maupun nonverbal. Media audio meliputi radio, alat perekam pita magnetik (tape recorder), piringan hitam, dan laboratorium bahasa.


c)      Media Audiovisual
Media audio visual adalah media yang melibatkan indera penglihatan dan pendengaran sekaligus dalam satu proses (Yudhi Munadi, 2008: 56). Sifat pesan yang dapat disalurkan melalui media dapat berupa pesan verbal dan non verbal yang terlihat layaknya media visual, juga pesan verbal dan non verbal yang terdengar layaknya media audio.
Media audio visual merupakan media perantara atau penggunaan materi dan penyerapannya melalui pandangan dan pendengaran sehingga membangun kondisi yang dapat membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
4.      Media Pembelajaran Lingkungan Alam Sekitar
a.      Pengertian Media Lingkungan Alam Sekitar
Lingkungan alam yaitu segala sesuatu yang ada di alam yang bermanfaat bagi manusia. Pada suatu lingkungan terdapat dua komponen penting yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik mencakup seluruh makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Sedangkan komponen abiotik mencakup segala benda tak hidup yang bermanfaat bagi makhluk hidup seperti tanah, air, udara, batuan, api dan lain sebagainya.
Yudhi Munadi (2008: 57) menyebutkan salah satu jenis media yaitu multimedia. Yang termasuk dalam media ini adalah segala sesuatu yang memberikan pengalaman secara langsung bisa melalui komputer dan internet, bisa juga melalui pengalaman berbuat dan pengalaman terlibat. Yang dimaksud pengalaman berbuat disini adalah lingkungan nyata dan karyawisata.
Berkaitan dengan lingkungan sebagai media, Daryanto (2010: 29) menjelaskan tentang widya wisata. Dijelaskan bahwa widya wisata adalah kegiatan belajar yang dilaksanakan melalui kunjungan ke suatu tempat di luar kelas sebagai bagian integral dari seluruh kegiatan akademis dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Dalam widya wisata ini guru menggunakan lingkungan sebagai media dalam proses belajar mengajar. Kegiatan widya wisata tidak harus ke tempat-tempat wisata yang sulit dijangkau serta membutuhkan biaya yang besar, bias saja menggunakan lingkungan alam di sekitar sekolah yang nyaman dan indah seperti persawahan, taman, atau kebun.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa media lingkungan alam sekitar adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan sekitar siswa baik yang hidup maupun tak hidup dan dapat digunakan untuk membantu dalam proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.


b.      Langkah-Langkah Pembelajaran Dengan Media Lingkungan Alam Sekitar
Langkah–langkah pemanfaatan media lingkungan alam ini adalah, guru terlebih dahulu menjelaskan kepada siswa tentang pengertian puisi, unsur-unsur yang membangun puisi, macam-macam puisi, contoh puisi, serta langkah-langkah dalam menulis puisi. Setelah siswa benar-benar memahami seluk beluk puisi serta bagaimana cara membuat atau menciptakan sebuah puisi, barulah guru memanfaatkan lingkungan alam sekitar sebagai media untuk menulis puisi.
Setelah memberikan pengertian dan penjelasan kepada siswa, guru mengajak siswa keluar kelas dan berjalan-jalan dilingkungan sekitar sekolah. Guru meminta siswa untuk mengamati sebuah obyek yang ada dilingkungan sekitar sekolah. Setelah siswa menentukan obyek yang akan diamati, siswa menuliskan bagaimana ciri-ciri obyek tersebut baik ciri-ciri fisik ataupun non fisik. Setelah siswa selesai membuat catatan pengamatan, guru mengajak siswa kembali ke kelas.
Sesuai dengan tahapan dalam menulis puisi yang telah dijelaskan diatas, di kelas guru membimbing siswa untuk memilih judul yang sesuai dengan obyek yang diamati sebelumnya. Setelah siswa menuliskan judul, misalnya “kupu-Kupu yang Cantik” guru membimbing siswa untuk memilih kata-kata seputar judul yang ditulis. Catatan yang dibuat siswa tentang ciri-ciri fisik dan non fisik juga sangat membantu dalam pemilihan kata. Kemudian siswa mengembangkan pilihan kata tersebut menjadi sebuah karya seni berupa puisi.
c.       Lingkungan Alam Sekitar sebagai Media Pembelajaran Menulis Puisi
Puisi telah menjadi bagian sejarah bangsa Indonesia sejak jaman dahulu. Lewat puisi pula sejarah tentang Indonesia diabadikan oleh para sastrawan. Seperti yang kita ketahui, tidak semua orang mampu menciptakan karya sastra yang didalamnya termasuk puisi. Menulis puisi bukanlah pekerjaan yang mudah namun juga tidak sulit. Tergantung bagaimana kita melalui proses dan tahapannya.
Selain faktor genetik, menulis puisi juga dapat dipelajari. Belajar menulis atau menciptakan sebuah puisi akan lebih baik bila dilakukan sejak dini. Disekolah, menulis puisi juga telah dimasukkan dalam kurikulum. Disinilah peran guru harus dimaksimalkan agar kemampuan siswa dalam menulis puisi benar-benar digali secara maksimal. Untuk dapat mencapai hal tersebut, diperlukan media yang sangat tepat agar siswa benar-benar termotivasi. Guru harus pandai mengemas pembelajaran agar siswa benar-benar mampu menciptakan sebuah puisi yang memiliki nilai estetika tinggi.
Mengingat siswa SD sering merasa kesulitan untuk menuangkan pikirannya kedalam bentuk tulisan, terutama puisi. Sudah menjadi tanggung jawab guru untuk membimbing dan mengarahkan siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Ternyata dalam praktiknya guru juga menemui kendala terutama dalam pemilihan dan pemanfaatan media pembelajaran yang dapat membangkitkan imajinasi siswa.
Media lingkungan alam sekitar sangat cocok digunakan dalam pembelajaran menulis puisi untuk siswa sekolah dasar. Dengan mengamati objek secara langsung, siswa tidak akan kesulitan untuk menggambarkannya dalam bentuk kata-kata. Bagi guru, media lingkungan alam sekitar juga sangat mudah dalam pemanfaatannya karena tidak perlu membuat atau mempersiapkan secara khusus. Media lingkungan alam sekitar juga mampu membantu siswa untuk membuat puisi sesuai dengan kaidah pennulisan puisi yang baik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media lingkungan alam sekitar dapat menjadi salah satu alternatif media dalam pembelajaran menulis puisi karena mampu merangsang kemampuan dan kreatifitas siswa dalam menciptakan sebuah karya seni berupa puisi serta membantu guru dalam mencapai kompetensi belajar yang diharapkan.


B.     Kerangka Berpikir
Media lingkungan alam sekitar adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan alam sekitar siswa serta dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses belajar mengajar. Lingkungan alam sekitar sangat mudah dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar karena tidak memerlukan persiapan khusus. Media ini juga sangat mudah ditemukan karena setiap sekolah pasti memiliki lingkungan yang berbeda-beda. Misalnya saja sekolah dilingkungan pedesaan tentu sangat berbeda dengan lingkungan sekolah yang ada di perkotaan.
Media lingkungan alam sekitar memiliki potensi yang sangat bagus untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membuat sebuah karya seni terutama dalam membuat puisi. Lingkungan dengan berbagai komponen yang ada didalamnya akan memberikan inspirasi yang maksimal serta lebih beragam sehingga siswa tidak akan kebingungan dalam menentukan gagasan utama atau tema. Dengan mengamati lingkungan yang nyata akan meminimalisir kebingungan siswa dalam mengembangkan gagasan utama atau tema yang dipilih sehingga dapat memaksimalkan kemampuannya dalam menuis puisi.
Dari pemikiran diatas dapat digambarkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut:




 

C.    Hipotesis Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 110) hipotesis berasal dari 2 penggalan kata, ”hypo” yang artinya ”dibawah” dan ”thesa” yang artinya ”kebenaran”. Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan uraian dan kerangka pemikiran di atas dapat diajukan hipotesis sebagai berikut :
  :   (tidak ada pengaruh pemanfaatan media lingkungan alam sekitar terhadap kemampuan menulis puisi siswa kelas V SDN Sareng 02, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun Tahun pelajaran 2012/2013)
            :   (ada pengaruh pemanfaatan media lingkungan alam sekitar terhadap kemampuan menulis puisi siswa kelas V SDN Sareng 02, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun Tahun pelajaran 2012/2013)

VHEE © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute