Seorang
santri muda tengah menunggui bayinya yang lahir prematur dan dalam kondisi
kritis, tengah tergolek lemas di dalam inkubator. Tubuhnya membiru dengan
ssejumlah selang menempel diatasnya. “ Harap tabah,” pesan dokter kepadanya.
Melihat kondisi yang nampaknya tidak bisa diharapkan, naluri santrinya
tergerak. Ia ingat tradisi di kampung soal dukungan doa berjama’ah yang
diyakini lebih manjur ketimbang berdoa sendirian. Sementara ia sendiri di rumah
sakit menunggui sang bayi dan ibunya, ia menghubungi orang rumah untuk
mengadakan ritual tradisi itu.
Di
kampung santri, tradisi berdoa secara berjamaah semacam ini tak sulit
dijalankan. Banyak sesepuh desa yang merupakan pendoa ulung, keluarga besarnya
pun keluarga santri. Malangnya, ssat itu seluruh kiai dan pendoa terbaik,
termasuk anggota keluarga besarnya tengah menjalankan ritual ziarah wali.
Hingga yang tersisa hanyalah para pekerja atau jika ada pendoa, hanyalah
ppendoa kelas bawah, yang biasanya hanya menjadi jama’ah penggembira. Tapi saat
genting ini, dialah satu-satunya yang layak menjadi imam.
Si
bapak muda merasa sedih, disatu sisi anaknya tengah berjuang melawan maut
sehingga butuh doa kelas wahid. Namun disisi lain, yang tersisa hanyalah pendoa
seadanya. Maka ia pun semakin pasrah akan nasib bayinya. Tapi, dasar imam papan
bawah, doa yang diucapkan layaknya mantera hafalan tanpa tahu makna dan
diucapkan tanpa lafal yang jelas ini, ternyata salah : doa untuk mempercepat
kematian!
Lengkap
sudah. Di mata bapak muda yang menerima informasi tentang kekeliruan doa yang
dipanjatkan berjamaah ini, nasib anaknya sudah ditentukan. Tinggal mempersiapkan
ketabahan hati. Doa yang salah alamat itu hanya isyarat, Tuhan belum
mempercayakan anak itu kepadanya. Ia pun menyerah.
Namun
belum genap kepasrahan itu berjalan, mendadak berganti ketakjuban. Esok paginya,
ia melihat mulut anaknya bergerak-gerak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Prediksi
dokter bahwa anak itu harus mengeram di inkubator setidaknya selama 3 bulan,
ternyata hanya dijalani kurang dari 2 minggu. Kini anak yang menghebohkan itu
tumbuh sehat dan cerdas.
Setiap
kali memandangi wajah anaknya dengan penuh rasa takjub, selalu diikuti rasa
takjub berikutnya : takjub pada para pendoa kelas bawah, yang berdoa karena
hanya doa itu yang dihafal, ya…hanya hafalan, yang tidak dipahami maknanya,
keliru pula, tapi Tuhan mengabulkan sesuai yang diharapkan, bukan sesuai doa
yang tidak dipahami.
Maka
sebenarnya inilah Tuhan yang Maha Kuasa, tambah lagi sifatnya : Maha Suka-suka.
Bukan pada kualitas doanya, atau kelas pendoanya, atau suara fasihnya yang
merdu sehingga ia justru takjub pada suaranya sendiri, yang membuat sebuah doa
bisa terkabul. Mau dikabulkan atau tidak, suka-suka Tuhan. Bukan karena mutu
doa atau pendoanya. Agaknya, kita perlu waspadai sifat Tuhan yang satu ini.